Covid-19: Pertimbangan Khusus dalam Melakukan Merger dan Akuisisi

Covid-19: Pertimbangan Khusus dalam Melakukan Merger dan Akuisisi

Covid-19: Pertimbangan Khusus dalam Melakukan Merger dan Akuisisi

Wabah pandemi Covid-19 telah menyebabkan ketidakpastian besar dan mengganggu kegiatan usaha di Indonesia bahkan seluruh dunia. Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan berbagai langkah-langkah luar biasa untuk mengatasi krisis, antara lain dengan menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pembatasan lalu lintas orang asing, pembatasan perjalanan khususnya yang bertujuan untuk mudik, penutupan tempat kerja dan pendidikan, semua kebijakan tersebut mengakibatkan kesulitan dan gangguan operasional yang cukup besar bagi pelaku usaha. 

Dalam kondisi saat ini, merger dan akuisisi (“M&A”) menjadi salah satu tindakan korporasi yang harus secara jeli dipertimbangkan. Investor perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan di masa yang tidak pasti ini. Dengan risiko transaksi yang juga meningkat secara bersamaan tentunya. Artikel ini berupaya menyampaikan langkah-langkah tertentu yang perlu diperhatikan oleh para pihak dalam transaksi M&A.

Due Diligence

Situasi pandemi Covid-19 saat ini sangat dinamis dan terus berkembang, hal tersebut menyebabkan diperlukannya investigasi uji tuntas yang lebih luas untuk menilai kerentanan bisnis suatu perusahaan. Sangat penting diperlukan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang bisnis perusahaan target dan bagaimana hal itu dapat dipengaruhi oleh Covid-19. Pertimbangan penting dalam pemeriksaan uji tuntas atau due diligence tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Rantai pasokan (supply chain) dan jaringan konsumen perusahaan target. Hal ini untuk memahami ruang lingkup geografis operasi, ketergantungan, dan risiko bisnis perusahaan target serta sejauh mana hal itu dapat dipengaruhi oleh gangguan rantai pasokan dan apakah perusahaan target memiliki rencana mitigasi yang tepat;
  2. Hak dan kewajiban hukum yang mengatur hubungan antara perusahaan target dan pemasok serta konsumennya. Hal ini untuk menentukan kemampuan perusahaan target atau rekanannya dalam memenuhi kewajiban masing-masing berdasarkan kontrak yang dimiliki;
  3. Adanya hak yang dapat mengecualikan terhadap ketidakpatuhan atau memungkinkan kontrak untuk diakhiri. Selain itu harus diperhatikan juga identifikasi pemutusan hubungan kerja dengan pemberitahuan, force majeure dan klausa perubahan material yang merugikan. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa ketentuan untuk mengakhiri dan tidak memenuhi sebuah kontrak dengan alasan force majeure masih menjadi perdebatan, meskipun Presiden telah memutuskan pandemi Covid 19 sebagai bencana nasional, tidak serta merta menyebabkan status tersebut sebagai force majeure dan alasan untuk membatalkan atau penundaan pemenuhan perjanjian. Karena penilaian force majeure juga sifatnya kasuistis, tidak berlaku secara otomatis;
  4. Negosiasi ulang yang sedang berlangsung antara perusahaan target dan pihak lain yang terikat kontrak dengannya atau apakah ada pemutusan hak yang telah dilaksanakan oleh perusahaan target atau pihak lain tersebut;
  5. Kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan baru terkait dengan wabah Covid-19, misalnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Penanggulangan Covid 19, aturan dan pedoman PSBB yang berlaku di wilayah domisili perusahaan target, serta peraturan lainnya yang mewajibkan untuk dipatuhi oleh perusahaan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid 19;
  6. Apakah terdapat perlindungan asuransi untuk segala aspek operasi bisnis perusahaan target yang mungkin terpengaruh oleh Covid-19.

Melalui uji tuntas yang ekstensif dan lebih mendalam, perusahaan pembeli harus dapat mempelajari lebih lanjut tentang eksposur dan perlindungan perusahaan target dalam kondisi Covid-19. Hal ini akan sangat penting ketika menyusun, meninjau dan menegosiasikan ruang lingkup representasi dan jaminan, ganti rugi dan batasan dalam perjanjian M&A.

Baca Juga : Proses & Cara Akusisi Pada Perusahaan Tertutup

Pemilihan Waktu

Situasi Covid 19 dapat menyebabkan penundaan transaksi M&A. Penundaan dapat terjadi sebagai akibat dari pembatasan perjalanan yang diberlakukan oleh banyak kota dan negara. Uji tuntas yang dilakukan lebih luas dan banyak waktu yang dibutuhkan, tertundanya waktu mendapatkan persetujuan pemerintah atau peraturan yang telah ditetapkan sebagai syarat M&A. Misalnya Peraturan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan saham perusahaan lain yang berakibat nilai Aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu wajib diberitahukan secara tertulis dengan mengisi formulir kepada Komisi. 

Namun dalam kondisi saat ini, Surat Keputusan Ketua KPPU No. 11/KPPU/Kep.1/III/2020 tentang Perubahan atas Keputusan KPPU No. 10/KPPU/Kep.1/III/2020 tentang Penghentian Sementara Kegiatan Penegakan Hukum di Lingkungan Sekretariat KPPU menyebutkan bahwa kegiatan penilaian serta klasifikasi merger dan akuisisi akan dihentikan sementara. Perlu diperhatikan, periode penangguhan tersebut tidak membebaskan pelaku bisnis dari pemberitahuan wajib transaksi ke KPPU sesegera mungkin. Hal ini untuk menghindari periode “30 hari kerja” dan penerapan sanksi administrasi Rp1 miliar per hari keterlambatan, serta denda maksimum Rp 25 Miliar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Peraturan tersebut. Dengan demikian diperlukan pemilihan waktu yang tepat dalam melakukan M&A dalam situasi saat ini.

Hak Mengakhiri (Termination Right)

Seriusnya situasi Covid-19 mengakibatkan perlu adanya hak khusus yang diberikan dalam perjanjian jual beli atau perjanjian joint venture sebagai dasar terjadinya M&A. Salah satu termination right yang sering digunakan adalah klausul force majeure.

Force majeure adalah klausul yang secara tegas menyebutkan peristiwa-peristiwa tertentu dapat dikecualikan dari pelaksanaan kewajiban kontrak dan merupakan cerminan dari perkiraan risiko yang disepakati antara pihak-pihak yang berkontrak. Dalam praktiknya ketentuan force majeure jarang terlihat dalam dokumen transaksi M&A, mengingat sifat mengikat sebuah kontrak. Namun, kondisi saat ini adalah waktu yang tidak pasti dan berbeda sehingga memasukkan ketentuan force majeure dalam perjanjian M&A merupakan cara yang tepat sebagai mekanisme perlindungan untuk mengurangi risiko, garansi serta pelanggaran pemutusan kontrak.

Kesimpulan

Meskipun tidak ada kepastian berapa lama situasi Covid-19 ini akan bertahan, yang terpenting adalah bahwa semua pihak dalam transaksi M&A, baik perusahaan penjual, perusahaan pembeli atau anggota perusahaan joint venture, harus meninjau kembali perjanjiannya dan terus memantau situasi seiring perkembangannya. Jika memungkinkan, para pihak harus melakukan langkah-langkah pencegahan untuk memitigasi risiko dalam rangka mengantisipasi penurunan lebih lanjut dari iklim ekonomi global.

 

Author: Andi Akhirah Khairunnisa

Jika perusahaan Anda membutuhkan asistensi hukum sebelum mengambil keputusan berinvestasi, silahkan hubungi kami melalui ask@bplawyers.co.id atau 082112341235.