SIMAK ! Begini Tahapan Penanganan Tindak Pidana Korporasi

Saat ini, modus kejahatan semakin berkembang. Kejahatan tidak melulu dilakukan oleh individu, tetapi juga institusi seperti korporasi. Menyikapi hal ini, setahun lalu, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

Namun, dalam kenyataannya korporasi ikut melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) dan dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana hingga tidak tersentuh proses hukum. Tak jarang persoalan pemidanaannya juga menjadi perdebatan di kalangan aparat penegak hukum. Karenanya, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor : 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

Sebelumnya, yang disebut sebagai tindak pidana korporasi berdasarkan Pasal 3 PERMA No. 13/2016 adalah : ”tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.”

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan hakim dalam menentukan terkait peran dan tindakan korporasi dalam sebuah tindak pidana. Pertama, korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tertentu atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kedua, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, korporasi tidak mengambil langkah-langkah pencegahan atau mencegah dampak lebih besar dan memastikan kepatuhan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Selain itu, PERMA ini mengatur juga pertanggungjawaban pidana yang dilakukan satu korporasi yang terlibat atas dasar hubungan kerja, tetapi juga dapat menjerat grup korporasi dan korporasi dalam penggabungan (merger), peleburan (akuisisi), pemisahan dan akan proses bubar. Namun, korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana. Hal ini diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8.

Untuk penanganan perkaranya, pertama kali hal yang harus dilakukan adalah pemeriksaan korporasi dan atau pengurusnya sebagai tersangka dalam proses penyidikan dan penuntutan baik sendiri atau bersama-sama setelah dilakukan proses pemanggilan. Hal yang memuat dalam surat pemanggilan : nama korporasi; tempat kedudukan; kebangsaan korporasi; status korporasi dalam perkara pidana (sangksi/tersangka/terdakwa); waktu dan tempat pemeriksaan; dan ringkasan dugaan peristiwa pidana.

Perumusan isi surat dakwaan dibuat merujuk pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diantaranya :

  1. nama Korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/ dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan Korporasi, jenis Korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili; dan
  2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Dalam sistem pembuktiannya, PERMA ini tetap merujuk pada sistem pembuktian yang ada dalam KUHAP dan bentuk hukum acara khusus yang diatur dalam undang-undang lainnya. Dalam PERMA ini juga memberikan pedoman kepada hakim dalam memutus dan menjatuhkan hukuman kepada korporasi atau pengurus atau keduanya secara langsung yaitu kepada pengurus dan koperasinya.

Di sisi lain, tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana terhadap korporasi hapus bila terjadi daluwarsa sebagaimana ketentuan yang diatur dalam KUHP. Sebagaimana yang tertuang dalam  Pasal 22 PERMA No. 13/2016  :“Kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana terhadap Korporasi hapus karena daluwarsa sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).” Sehingga berdasarkan ketentuan kewenangan menuntut di atas tetap berlaku sampai dengan kasus telah memasuki masa daluwarsa suatu kasus.

Dalam PERMA No. 13/2016 juga mengatur mengenai mekanisme restitusi atau ganti kerugian diatur menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 20 yang isinya jelas bahwa “Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.”

Sebagai informasi bahwa masih ada undang-undang yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi tetapi minim diproses dan diputus ke pengadilan. Karena fakta kasus yang ada membuktikan seluruh tindakan perusahaan dilakukan oleh pengurus namun korporasi sebagai badan hukum yang juga tidak terlepas dari perannya, sehingga hal ini menjadi penting segala bentuk kerugian dan pertanggungjawaban pidana agar layak dijalankan seutuhnya dengan hadirnya PERMA No. 13/2016.

BP Lawyers dapat membantu anda

Kami dapat membantu anda dalam memberikan solusi terbaik atas permasalahan atau sengketa terkait kontrak, penyelesaian melalui proses arbitrase maupun peradilan umum. Anda dapat menghubungi kami melalui:

E : ask@bplawyers.co.id

H : +62 821 1000 4741