kenali-hak-hak-cuti-dan-istirahat-bagi-karyawan-anda

Kenali Hak-Hak Cuti dan Istirahat Bagi Karyawan Anda

Bagi Anda yang memiliki karyawan yang masuk kategori generasi milenial mungkin tidak kaget dengan kebiasaan mereka mengajukan cuti untuk berlibur. Maklum, bagi generasi ini, hidup terlalu monoton jika dihabiskan di kantor. Maka tak heran jadinya kalau kita lihat akun sosmed mereka ini dipenuhi dengan foto dan video mereka berlibur.

Nah, Anda yang berada di posisi HR harus mengetahui jenis-jenis cuti dan istirahat yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sekadar mengingatkan, silakan baca beberapa ketentuan mengenal cuti dan waktu istirahat sebagai berikut:

    1. Cuti Tahunan

Pasal 79 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa cuti tahunan diberikan kepada pekerja/buruh yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Lama cuti tahunan ini minimal 12 hari kerja. Perusahaan boleh menetapkan lamanya cuti di atas jumlah itu. Dalam praktik, ada juga beberapa perusahaan yang diketahui memberikan cuti meskipun karyawannya belum bekerja selama satu tahun.

Yang pasti, pada masa cuti tahunan tersebut, karyawan tetap berhak mendapatkan upah penuh, sebagaimana disebutkan pada Pasal 84 UU Ketenagakerjaan.

Bagaimana jika karyawan tak menggunakan atau menyisakan hak cutinya? UU Ketenagakerjaan tidak menjelaskannya secara khusus. Sehingga pada praktiknya ada beberapa variasi.

Ada perusahaan yang menghanguskan sisa cuti, ada juga yang mengkompensasikan sisa cuti dengan sejumlah uang, dan ada juga perusahaan yang membolehkan sisa cuti diakumulasikan dengan cuti di tahun berikutnya. Apa pun pilihannya, seyogianya perusahaan menjelaskan mengenai hal ini di peraturan perusahaan maupun di perjanjian kerja. Tujuannya agar ada kepastian hukum mengenai sisa cuti.

    1. Cuti Hamil/Melahirkan

UU Ketenagakerjaan memang tidak mengenal istilah cuti hamil/melahirkan. Istilah cuti hanya eksplisit terdapat pada cuti tahunan yang sudah dijelaskan di atas.

Sedangkan istilah ‘cuti hamil/melahirkan’ ini merujuk pada ketentuan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan yang memberikan hak bagi karyawati memperoleh hak istirahat 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Akan tetapi, perusahaan dan karyawati dapat bernegosiasi tentang pemberian cuti melahirkan dan cuti menyusui untuk waktunya sekitar tiga bulan.

Cuti tahunan tidak mengurangi jatah cuti melahirkan, demikian juga sebaliknya.  Sebab, cuti hamil adalah perlindungan bagi karyawan perempuan, sedangkan cuti tahunan adalah hak bagi karyawan laki-laki dan perempuan.

    1. Cuti Panjang/Besar

UU Ketenagakerjaan menyebut cuti jenis ini sebagai ‘istirahat panjang’. Yaitu diberikan kepada karyawan yang telah bekerja sekurang-kurangnya enam tahun secara terus menerus di suatu perusahaan.

UU Ketenagakerjaan menyebutkan lama cuti ini sekurang-kurangnya dua bulan yang dilaksanakan masing-masing satu bulan pada tahun ketujuh dan satu bulan lagi pada tahun kedelapan. Artinya perusahaan dibolehkan mau memberikan lama cuti yang lebih panjang dari dua bulan itu.

Selama pelaksanaan cuti besar itu, karyawan masih berkah mendapatkan upah penuh. Namun ia tidak berhak lagi mendapatkan hak cuti tahunan pada tahun tersebut.

    1. Cuti karena alasan penting

Apabila karyawan Anda tidak masuk kantor karena alasan penting, ia berhak mengajukan cuti dan tetap dibayar penuh. Adapun alasan penting yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah:

      1. Pekerja/buruh menikah: cuti selama 3 hari
      2. Menikahkan anaknya: 2 hari
      3. Mengkhitankan anaknya: 2 hari
      4. Membaptiskan anaknya: 2 hari
      5. Isteri melahirkan atau keguguran kandungan: 2 hari
      6. Suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia: 2 hari
      7. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia: 1 hari

Di luar ketujuh alasan di atas, perusahaan dapat menambahkan alasan atau lamanya jumlah hari cuti karena alasan penting ini.

Jika karyawan mengambil cuti yang lamanya melebihi ketentuan maka perusahaan bisa mengambil pilihan memotong upah karyawan secara proporsional. Atau pilihan lainnya adalah memotong jatah cuti tahunan. Alangkah lebih baik jika perusahaan mengaturnya di dalam peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja.

    1. Cuti sakit

Istilah ini juga tidak ditemukan secara eksplisit di UU Ketenagakerjaan. Jenis cuti ini tentu akan mensyaratkan adanya saran atau keterangan dari dokter mengenai berapa lama karyawan harus istirahat.

Jika karyawan sakit selama empat bulan, ia tetap berhak mendapat 100 persen upahnya. Namun bila untuk empat bulan kedua ia masih sakit, maka ia hanya berhak mendapat upah 75%. Lalu hanya akan mendapat 50% upah jika masih tidak bekerja karena sakit begitu menginjak empat bulan ketiga. Setelah satu tahun, perusahaan hanya berkewajiban membayar 25% upahnya.

Selain ketentuan di atas, cuti sakit juga diberlakukan bagi karyawan yang merasakan sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya.

    1. Cuti Bersama

Jenis cuti ini sebenarnya tidak ada di UU Ketenagakerjaan. Cuti ini ditetapkan oleh pemerintah menjelang hari raya besar keagamaan atau hari besar nasional. Oleh karenanya pemerintah setiap tahun biasanya akan selalu mengeluarkan keputusan mengenai hari-hari pelaksanaan cuti bersama tersebut.

Pada dasarnya pemerintah menyatakan cuti bersama adalah bagian dari pelaksanaan cuti tahunan. Dengan demikian jika karyawan mengambil cuti pada cuti bersama tersebut maka hak cuti tahunannya akan berkurang. Walau begitu, perusahaan dapat membuat peraturan sendiri yang menyatakan cuti bersama tidak mengurangi cuti tahunan.

Demikian jenis-jenis cuti dan waktu istirahat yang perlu Anda ketahui sebagai HR. Silakan atur atau lihat kembali ketentuan yang berlaku di perusahaan Anda jika ada karyawan yang ingin mengajukan cuti.

BP Lawyers Dapat Membantu Anda!
Kami dapat membantu Anda dalam menyelesaikan perkara perselisihan hubungan industrial secara efektif. Jika Anda ingin berkonsultasi lebih lanjut, silakan menghubungi kami melalui e-mail ask@bplawyers.co.id atau +62 821 1234 1235

Author: TC-IHW