Pentingnya Konsultan Hukum dalam Pendampingan Sertifikasi Halal

Pentingnya Konsultan Hukum dalam Pendampingan Sertifikasi Halal

Meskipun mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, Indonesia merupakan negara yang amat menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Terdapat aturan-aturan yang jelas dan bersifat mengikat terhadap masing-masing umat beragama, terutama umat muslim. Segala aturan tersebut bahkan diatur dalam undang-undang, tak terkecuali dengan sertifikasi halal.

 

Peraturan Pemerintah Tentang Produk Halal

Direktur LPPOM MU Lukmanul Hakim.

Direktur LPPOM MU Lukmanul Hakim. Sumber Foto: www.eramuslim.com

Pada tahun 2014, sebuah peraturan perundangan yang dirancang oleh Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono terkait Jaminan Produk Halal akhirnya mendapatkan pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peraturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Tiga tahun berselang, tepatnya pada bulan Oktober 2017, dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang diresmikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan berada di bawah naungan Kementerian Agama. Lembaga yang diketuai oleh Sukoso tersebut memiliki kewenangan untuk menerbitkan atau pun mencabut izin terkait produk halal di Indonesia.

Meskipun demikian, hingga kini, belum ada tindak lanjut lebih jauh terkait pelaksanaan regulasi ini. Padahal, batas waktu yang diberikan hanya tinggal satu tahun lagi, tepatnya pada Oktober 2019 mendatang. Hal ini ditilik dari syarat maksimal pelaksaannya adalah selambatnya lima tahun sejak undang-undang disahkan.

Ada pun peraturan lain terkait regulasi JPH ini tertuang dalam delapan Peraturan Pemerintah tentang produk halal, di antaranya:

  • Sebagaimana tertulis dalam Pasal 11 Undang-Undang JPH, harus dibuat Peraturan Pemerintah terkait pembentukan kerja sama antar lembaga yang bertanggungjawab terhadap penerbitan sertifikasi halal, yaitu BPJPH, LPH, dan MUI.
  • Peraturan Pemerintah tentang LPH sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang JPH.
  • Peraturan Pemerintah tentang alat yang digunakan untuk Proses Produk Halal (PPH) berikut lokasinya sesuai dengan Pasal 21 ayat 3 Undang-Undang JPH.
  • Peraturan Pemerintah yang sesuai dengan Pasal 44 ayat 3 Undang-Undang JPH mengenai biaya yang dibebankan untuk proses sertifikasi halal.
  • Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 46 ayat 3 Undang-Undang JPH mengenai aturan kerja sama JPH dalam sektor internasional.
  • Peraturan Pemerintah tentang mekanisme pendaftaran produk halal asal luar negeri sesuai dengan Pasal 47 ayat 4 Undang-Undang JPH.
  • Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang JPH mengenai aturan terkait pengawasan kinerja JPH.
  • Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 67 ayat 3 Undang-Undang JPH mengenai macam produk dengan sertifikasi halal bertahap.

 

Label Tidak Halal pada Produk Non-halal

sumber foto: hukumonline

Dalam salah satu pasal Undang-Undang JPH disebutkan bahwa semua produk yang masuk dan dipasarkan di Indonesia wajib memiliki Sertifikat Halal. Pastinya, terdapat berbagai opini yang simpang siur terkait isi pasal ini. Beberapa pihak beranggapan bahwa semua produk nonhalal akan dihapus keberadaannya, hingga pemikiran bahwa Indonesia menjadi negara yang diskriminatif.

Meskipun demikian, Sukoso menyatakan bahwa aturan baru ini tak berdampak pada penghapusan produk nonhalal di dalam negeri. Ia menuturkan, semua produk halal wajib menggunakan label halal pada kemasan produk atau tempat jual belinya. Hal yang sama juga diberlakukan pada produk yang tidak halal, yaitu pemasangan label tidak halal pada produk nonhalal atau toko tempat produk diperjualbelikan.

Adanya peraturan ini, tambah Sukoso, bertujuan sebagai salah bentuk negara dalam menghormati ajaran agama Islam yang melarang konsumsi makanan atau minuman nonhalal. Tak hanya itu, pemasangan label pun berguna untuk memberikan informasi dengan sejelas-jelasnya terkait mana produk yang halal dan tidak, untuk menghindari terjadinya kerancuan.

Sanksi Bagi Pengusaha yang Mengabaikan Kewajiban Sertifikasi Halal

Batas waktu bagi para pemilik atau pelaku usaha untuk mengajukan sertifikasi halal terhadap produk yang dijualbelikan adalah hingga tahun 2019. Kabarnya, pada bulan Oktober 2019 mendatang, semua produk harus telah memiliki Sertifikat Halal.

Meskipun demikian, waktu yang semakin singkat ini tak lantas digunakan sebaik-baiknya bagi para pelaku usaha. Mereka beranggapan tanpa adanya Sertifikat Halal dari pemerintah, produk yang mereka jual terbuat dari komposisi dan bahan yang pasti hahal.

Padahal, pemerintah memberlakukan adanya sanksi bagi pengusaha yang mengabaikan kewajiban sertifikasi halal ini. Ada pun sanksinya berupa kurungan penjara dengan lama waktu minimal dua tahun, membayar denda sekurang-kurangnya Rp5 miliar rupiah, dan informasi detail mengenai kandungan produk berikut bahan-bahan yang digunakan untuk membuatnya.

Di samping sanksi yang terbilang cukup berat, ternyata proses pengajuan sertifikasi halal tidak serumit yang dipikirkan. Para pemilik usaha cukup mendatangi kantor BPJPH terdekat sesuai dengan lokasi usaha dan mengisi formulir yang diberikan. Setelah itu, formulir akan diserahkan ke LPH untuk dilakukan pengujian. Hasil laporan LPH kemudian akan diberikan ke MUI untuk keputusan halal atau tidaknya produk tersebut.

 

 

Perbedaan Sistem Jaminan Produk Halal di Indonesia dan Luar Negeri

sumber foto: kompasiana

Tak hanya di Indonesia, pemeluk agama Islam tersebar di seluruh negara di dunia. Tak jarang pula ditemui Islam sebagai agama minoritas. Meskipun demikian, tetap saja ada pemberlakuan Sertifikasi Halal terhadap segala produk yang dipasarkan.

Ambillah contoh Negara Thailand. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Universitas Islam Surakarta, disebutkan bahwa penerbitan sertifikasi halal di Negeri 1000 Pagoda tersebut diatur oleh Central Islamic Council of Thailand (CICOT) yang merupakan lembaga sekelas MUI yang berperan sebagai penanggungjawab agama Islam di Thailand. Di bawahnya, berdiri Halal Standard Institute of Thailand yang bertugas untuk menangani segala persoalan terkait penerbitan sertifikasi halal.

Tak hanya itu, dari seluruh negara di dunia, sebanyak 23 negara memiliki lembaga sertifikasi halal yang standar prosedurnya diakui oleh MUI, termasuk di antaranya adalah Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sistem jaminan produk halal di Indonesia dan luar negeri yang signifikan.

 

 

Tantangan Sertifikasi Halal untuk Industri Kesehatan (Obat dan Vaksin)

sumber foto. viva.co.id

Tak hanya makanan dan minuman, pemerintah juga mewajibkan produk seperti kosmetik, obat-obatan, dan vaksin turut mengantongi Sertifikat Halal. Tak heran jika kini banyak ditemui produk kosmetik yang gencar memasarkan iklan dengan membanggakan unsur halal di dalamnya.

Meskipun demikian, penerbitan sertifikasi halal untuk industri kesehatan, terutama obat dan vaksin tak semudah industri pangan. Pasalnya, jika bahan baku sektor industri pangan bisa ditemukan dengan mudah di dalam negeri, tidak demikian halnya dengan industri kesehatan. Justru, hampir semua obat dan vaksin yang beredar di dalam negeri menggunakan bahan baku impor.

Tentunya, proses pengujian dan verifikasi oleh LPH akan menjadi sulit dilakukan, dan inilah yang menjadi tantangan sertifikasi halal untuk industri kesehatan (obat dan vaksin). Dengan kata lain, pengujian baru bisa dilakukan jika petugas LPH mendatangi satu demi satu pabrik pembuat bahan baku obat tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Parulian Simanjuntak selaku Direktur Eksekutif dari International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG), pengolahan bahan baku untuk industri farmasi mengalami proses lebih dari sekali. Proses yang berlapis ini berkaitan dengan pengolahan yang dilakukan di dua pabrik yang berlokasi di dua negara yang berbeda.

Jika aturan ini diberlakukan, menurut Parulian supply obat ke masyarakat akan mengalami kendala. Hal ini disebabkan karena para pemasok yang tak lagi berani memproduksi obat akibat sanksi berat yang dibebankan.

 

 

Regulasi Halal Pasca Undang-Undang BPJPH

sumber foto: Halhalal.com

Setelah resmi dibentuk oleh Kementerian Agama, terjadi regulasi atau kebijakan baru terkait sertifikasi halal di dalam negeri. Salah satunya adalah peran MUI yang tak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggungjawab terhadap penerbitan Sertifikat Halal. Kewenangan tersebut kini sepenuhnya berada di tangan BPJPH.

Tak hanya itu, BPJPH pun memiliki tugas utama untuk menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan JPH, termasuk prosedur, kriteria, standar, dan normanya. Pendaftaran Sertifikat Halal untuk produk luar negeri juga ada di tangan lembaga ini.

Lalu, apa tugas dan peran MUI setelah adanya BPJPH? Lembaga Islam ini tetap memiliki kewenangan dalam memutuskan halal atau tidaknya suatu produk. Oleh karena peran serta BPJPH dan LPH dalam penerbitan sertifikasi halal, MUI juga bertugas untuk melakukan pantauan auditor pemeriksaan produk sekaligus akreditasi LPH.

Dengan diberlakukannya regulasi halal pasca Undang-Undang BPJPH ini, kini lembaga yang memiliki kewenangan untuk menangani semua persoalan terkait pembuatan sertifikasi halal tak lagi ada di tangan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM). Hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPJPH dan LPH.

Selaras dengan pembaharuan regulasi, mekanisme pengajuan sertifikasi halal pun mengalami perubahan. Ada pun mekanismenya adalah sebagai berikut:

  • Pemilik usaha harus membuat surat permohonan kepada BPJPH terkait pengajuan sertifikasi halal.
  • Dari BPJPH, surat permohonan akan diteruskan ke LPH untuk dilakukan pemeriksaan sekaligus pengujian produk pemilik usaha.
  • Produk akan diperiksa oleh Auditor Halal dan dilakukan saat proses produksi. Pengujian dilakukan pada seluruh bahan yang digunakan untuk membuat produk.
  • Hasil laporan LPH akan diserahkan kembali ke BPJPH untuk selanjutnya diteruskan ke MUI.
  • MUI akan menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menentukan penerbitan sertifikasi halal. Jika lolos, label halal harus terpasang pada lokasi atau kemasan produk dengan daya tahan yang permanen.
  • Sertifikat Halal yang diturunkan oleh MUI berlaku hingga empat tahun sejak tanggal penerbitan. Perpanjangan sertifikat dilakukan maksimal tiga bulan sebelum tanggal kedaluwarsa.

Pemerintah berhadap dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang dilanjutkan dengan pembentukan BPJPH akan membuat proses sertifikasi halal di Tanah Air lebih baik. Nantinya, produk-produk dalam negeri pun akan mudah diakui oleh negara lain.

Uji Materi Undang-Undang Jaminan Produk Halal

Tak lama setelah disahkan, seorang advokat bernama Paustinus Siburian mengajukan permohonan untuk dilakukan tinjauan ulang terkait Undang-Undang JPH ini. Bagi Siburian yang bukan pemeluk agama Islam, undang-undang ini dinilai diskriminatif dengan keberpihakan pada salah satu agama. Hal ini didasarkan pada beberapa pasal dalam undang-undang yang akan membuat umat nonmuslim tak lagi bisa membuat atau mengonsumsi segala produk nonhalal di Tanah Air.

Menanggapi gugatan yang diajukan Siburian, akhirnya sidang uji materi Undang-Undang Jaminan Produk Halal pun digelar oleh Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh Aswanto dan dihadiri oleh Lembaga Advokasi Halal atau Indonesia Halal Watch (IHW). Berdasarkan berkas sidang perkara Nomor 5/PUU-XV/2017, berikut alasan yang disampaikan Siburian terkait uji materi:

  • Sasaran dari undang-undang yang tidak jelas. Jika memang dikhususkan untuk umat muslim, seharusnya diberikan penjelasan secara tertulis.
  • Pengesahan regulasi yang dirasa belum tepat sasaran, dengan latar belakang keyakinan yang dianut Siburian.
  • Beberapa pasal dalam regulasi masih memiliki arti yang simpang siur.

Sebagai pihak termohon, Ikhsan Abdullah yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif dari IHW menuturkan bahwa telah terjadi kekeliruan penafsiran yang dilakukan oleh Siburian terkait regulasi tersebut. Ia menambahkan, regulasi ini tidak berpengaruh terhadap persebaran produk nonhalal di Tanah Air. Artinya, Siburian dan para nonmuslim lainnya masih bisa mengonsumsi atau memperjualbelikan produk nonhalal.

Menguatkan pernyataan Ikhsan, Sukoso turut mengemukakan bahwa regulasi ini adalah bukti negara menjamin perlindungan konsumen, dalam hal ini umat muslim, dalam melaksanakan ajaran agamanya. Tak hanya itu, aturan ini pun diharapkan akan memiliki dampak yang positif secara ekonomi, yaitu kemampuan negara untuk mengahadapi persaingan produk secara global.

 

 

Perlindungan Konsumen

Meskipun demikian, pada kenyataannya masih banyak para pelaku usaha yang melakukan berbagai kecurangan demi meraup keuntungan yang besar tanpa harus mengeluarkan banyak modal. Regulasi halal pun tak lagi diindahkan, karena permainan harga dan strategi yang cenderung tak jujur menjadi masalah lain yang turut perlu mendapatkan perhatian khusus.

Berlandaskan hal inilah, akhirnya pada tanggal 20 April 1999, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang membahas tentang perlindungan konsumen. Peraturan inilah yang selanjutnya dijadikan tolok ukur dan pedoman bahwa konsumen akan mendapatkan jaminan perlindungan sepenuhnya dalam hal pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan haknya.

Aturan perlindungan konsumen ini memiliki dua bahasan penting, yaitu:

  • Adanya jaminan untuk melindungi konsumen dari ancaman berlakunya bermacam syarat yang dirasa tidak adil dari pemilik usaha.
  • Adanya jaminan untuk melindungi konsumen dari ancaman pemberian barang yang dinilai melanggar peraturan dan kesepakatan.

Meskipun sepenuhnya ditujukan untuk melindungi konsumen dari segala bentuk tindakan negatif, pengesahan undang-undang ini bukanlah menjadi ancaman yang serius bagi para pelaku usaha. Adanya aturan ini seharusnya malah membuat pelaku usaha bersaing secara jujur dalam menggaet konsumen dan memperoleh keuntungan.

Tak hanya menjamin terpenuhinya hak konsumen, masih ada banyak tujuan diberlakukannya hukum perlindungan konsumen. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Melindungi konsumen dari segala ancaman penyalahgunaan pemakaian produk akibat kecurangan pelaku usaha.
  • Mengedukasi konsumen dalam memilih, menentukan, dan memperoleh hak sesuai dengan kewajibannya.
  • Sebagai regulasi jaminan perlindungan untuk konsumen yang bersifat mengikat di bawah naungan negara.

 

Wajib Halal Apa yang Harus Disiapkan Para Pengusaha di Tahun 2019

2019 wajib halal

Seiring dengan telah berjalannya regulasi baru terkait sertifikasi dan jaminan produk halal, maka para pengusaha wajib mempersiapkan hal-hal berikut sebelum batas waktu pengajuan sertifikasi halal berakhir di 2019 mendatang.

  • Melakukan pendaftaran sertifikasi halal terkait produk-produk yang dibuat atau dipasarkan kepada publik.
  • Mencatumkan logo halal resmi dari BPJPH dan MUI apabila produk yang dibut atau diperjualbelikan merupakan produk halal. Selaras dengan itu, pemilik usaha yang memperdagangkan barang-barang aatau produk nonhalal pun wajib memasang informasi atau logo nonhalal. Pemasangan ini harus dilakukan pada kemasan produk atau tempat produk dipasarkan guna mengurangi kerancuan, terlebih bagi masyarakat muslim.
  • Langkah-langkah pengajuan sertifikasi halal bisa diperoleh di BPJPH setempat. Ada pun untuk pengajuannya, wajib mengisi formulir permohonan sertifikasi halal yang juga diperoleh dari kantor BPJPH.
  • Menyiapkan segala dokumen yang diperlukan untuk menerbitkan Sertifikat Halal, termasuk biaya pembuatannya. Besarnya biaya yang dibebankan untuk penerbitan Sertifikat Halal tidak sama, bergantung pada lokasi usaha dan besar kecilnya jenis usaha yang dilakukan.
  • Sertifikat Halal resmi dari MUI bisa digunakan hingga empat tahun ke depan. Ada pun perpanjangannya dilakukan paling lambat tiga bulan sebelum tanggal masa berlaku berakhir.

Setelah berjalan sepenuhnya, regulasi ini nantinya akan membagi kepemilikan dan persebaran produk di Indonesia menjadi dua bagian, yaitu produk nonhalal dan produk halal. Terkait hal tersebut, Kepala Pusat Registrasi Halal BPJPH Siti Aminah menghimbau kepada seluruh pemilik usaha di Tanah Air untuk segera membuat permohonan pernerbitan sertifikasi halal bagi yang belum memilikinya.

Regulasi Halal di Indonesia Serta Dampak dari Sertifikasi Ini

Seminar Sertifikasi wajib halal yang digelar oleh PRABU Indonesia

Seminar Sertifikasi wajib halal yang digelar oleh PRABU Indonesia

Pengesahan Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini pastinya memiliki dampak positif dan negatif. Lalu, apa saja akibat yang muncul dari adanya pembaharuan ini?

  • Penanggungjawab penerbitan sertifikasi halal tak lagi berada di tangan MUI, melainkan ada pada BPJPH dan LPH. Meskipun demikian, MUI masih memiliki peranan penting, yaitu sebagai pengambil keputusan tertinggi terkait halal atau tidaknya suatu produk yang akan berpengaruh terhadap penerbitan sertifikasinya.
  • Semua produk yang masuk dan/atau diperdagangkan di Tanah Air wajib mengantongi sertifikasi halal resmi dari pemerintah, atau mencantumkan informasi tidak halal bagi produk yang memang nonhalal.
  • Pembaharuan regulasi ini disinyalir akan menguntungkan pihak pemerintah, terlebih dengan dibentuknya BPJPH yang berada di bawah kendali Kementerian Agama. Pasalnya, untuk selanjutnya pemerintah akan lebih mudah dan leluasa untuk melakukan tinjauan atau pun inspeksi terhadap pemilik usaha. Dilakukannya pemeriksaan ini bisa didasarkan pada laporan masyarakat atau mandat langsung dari Menteri Agama.
  • Saat masih menjadi tanggung jawab MUI, besarnya biaya pembuatan sertifikasi halal ini tidak diketahui dengan pasti, juga alokasi aliran dananya. Kini, setelah dipegang oleh BJPH, besarnya biaya lebih jelas karena ditentukan langsung oleh Kementerian Keuangan. Ada pun dana yang masuk akan dialokasikan ke bagian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB).
  • Semua produk asli Indonesia nantinya akan mendapat jaminan penuh untuk bisa diterima di negara lain, karena sertifikasi halal dikeluarkan oleh negara. Dahulu, saat masih berada di bawah MUI, sempat muncul isu penolakan terhadap produk lokal di negara asing karena sertifikasi halal yang bukan berasal dari instansi pemerintah.
  • Hasil pengujian sertifikasi halal ditakutkan akan memunculkan multiinterpretasi karena pembuatannya merupakan tanggung jawab tiga lembaga.
  • Dari semua sektor industri, bidang farmasi dan kesehatan menjadi sektor yang disinyalir akan kesulitan mendapatkan Sertifikat Halal. Hal ini disebabkan karena semua produk yang berasal dari dua sektor tersebut dibuat dari bahan baku yang didatangkan dari luar negeri alias impor.
  • Diberlakukannya sanksi tegas terhadap semua pelaku usaha yang masih belum memiliki Sertifikat Halal hingga bulan Oktober 2019 mendatang.

Awalnya memang terlihat sulit, tetapi Anda tak perlu mengurus pengajuan sertifikasi halal seorang diri. Ada banyak konsultan hukum yang akan membantu memudahkan proses penerbitan Sertifikat Halal untuk produk Anda, salah satunya adalah BP Lawyers. Adanya konsultan hukum sebagai pendamping saat mengajukan permintaan sertifikasi halal ini dirasa perlu, karena masih banyak pemilik usaha yang awam dengan persyaratan berikut prosedur yang harus dijalani.

Melalui tenaga yang profesional dan berpengalaman, urusan perijinan sertifikasi halal produk atau pun usaha Anda tak lagi lama dan menemui banyak kendala. Segera urus perijinan halalnya sebelum terlambat!

BPLAWYERS dapat membantu anda.
kami dapat membantu anda dalam memberikan solusi terbaik dalam merancang dan menyiapkan seluruh kebutuhan terkait  pendampingan sertifikasi halal. Anda dapat menghubungi kami melalui:
E : ask@bplawyers.co.id 
H : +6221-8067-4920