Dapatkah Perusahaan Melakukan PHK karena Kerugian Akibat Pandemi Covid-19?

Dapatkah Perusahaan Melakukan PHK karena Kerugian Akibat Pandemi Covid-19?

Perusahaan tidak serta-merta dapat melakukan PHK karena perusahaan mengalami kerugian, terjadi keadaan memaksa, atau perusahaan melakukan efisiensi anggaran akibat wabah Covid-19.

Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini, tidak hanya berdampak terhadap kesehatan saja. Sektor ekonomi juga ikut terpukul atas mewabahnya Covid-19. Arahan dari pemerintah untuk melakukan social distancing, karantina mandiri, work from home, hingga penerapan lockdown juga mempengaruhi produktivitas perusahaan.

Walaupun aktivitas pencegahan maupun mitigasi risiko Covid-19 tidak lagi seketat ketika awal masa pandemi Covid-19, dampak dari pandemi tersebut masih dirasakan. Malah mungkin baru dirasakan perusahaan ketika kegiatan usaha kembali berlangsung normal.

Mulai dari adanya perubahan prioritas konsumen setelah pandemi “berakhir” yang menyebabkan berkurangnya permintaan secara drastis untuk barang dan jasa tertentu, hingga perusahaan yang harus memenuhi kewajiban atau pun utang yang jatuh tempo, yang diambil semasa pandemi demi menjaga agar kegiatan usaha tetap berjalan dan karyawan tetap digaji.

Salah satu upaya yang diambil perusahaan untuk menjaga agar kegiatan usaha tetap berjalan adalah mengurangi biaya operasional, yang salah satunya dilakukan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) karyawan perusahaan. Namun, apakah melakukan PHK dapat dibenarkan dengan alasan kesulitan yang dihadapi akibat pandemi Covid-19?

Tidak serta merta perusahaan dapat melakukan PHK karena mengalami kerugian, yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 maupun kesulitan yang dihadapi setelah pandemi berakhir. Di Indonesia, terdapat ketentuan-ketentuan tersendiri yang wajib dipenuhi sampai dengan PHK dapat dilakukan oleh perusahaan.

Pasal 154A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja  (“Perppu Ciptaker”) mengatur PHK dapat dilakukan jika perusahaan yang mengalami kerugian atau berada dalam keadaan force majeure, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021”). 

Adapun ketentuan-ketentuan tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan dapat melakukan PHK dengan alasan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan telah mengalami kerugian

Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 dan penjelasannya, perusahaan yang telah mengalami kerugian yang dibuktikan antara lain berdasarkan hasil audit internal atau audit eksternal, dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan, baik karyawan tetap maupun kontrak.

Kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan yang telah mengalami kerugian dan bermaksud untuk melakukan PHK terhadap karyawan tetap adalah:

  • 0,5 x uang pesangon sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021;
  • 1 x uang penghargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021;
  • Uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021.

Sementara untuk karyawan kontrak atau karyawan yang terikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), wajib dibayarkan sisa kontraknya sesuai Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”), dan juga uang kompensasi sesuai dengan PP 35/2021.

2. Perusahaan dapat melakukan PHK dengan alasan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian

Berdasarkan Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021 dan penjelasannya, perusahaan dapat melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian, yang ditandai dengan antara lain adanya potensi penurunan produktivitas perusahaan atau penurunan laba yang berdampak pada operasional perusahaan. Efisiensi ini dapat dilakukan dengan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan, baik karyawan tetap maupun kontrak.

Kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan yang bermaksud untuk melakukan PHK terhadap karyawan tetap dengan alasan untuk mencegah kerugian adalah:

  • 1 x uang pesangon sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021;
  • 1 x uang penghargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021;
  • Uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021.

Sementara untuk karyawan kontrak atau karyawan yang terikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), wajib dibayarkan sisa kontraknya sesuai Pasal 62 UU 13/2003, dan juga uang kompensasi sesuai dengan PP 35/2021.

3. Perusahaan dapat melakukan PHK dengan alasan mengalami force majeure, tapi tidak menyebabkan perusahaan tutup

Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) PP 35/2021, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena mengalami keadaan memaksa (force majeure), yang tidak menyebabkan perusahaan tutup. 

Adapun di Indonesia, definisi dari istilah force majeure tidak diatur secara tegas atau eksplisit. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), terdapat pasal-pasal yang menjadi rujukan dalam membahas keadaan force majeure, yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. 

Pasal 1244 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”

Pasal 1245 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”

Keadaan force majeure dapat diinterpretasikan secara luas, sehingga disarankan bagi perusahaan untuk melihat kembali apakah istilah force majeure didefinisikan lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama. Oleh karenanya, dalam PHK yang berdasarkan pada force majeure, tetap terdapat risiko bahwa karyawan tidak menerima bahwa perusahaan berada dalam keadaan force majeure dan menuntut dirinya tetap dipekerjakan atau hak yang lebih dari apa yang diatur dalam PP 35/2021. 

Kewajiban yang harus dipenuhi Perusahaan yang bermaksud untuk melakukan PHK dengan alasan mengalami force majeure dan tidak akan menutup Perusahaan adalah:

  • 0,75 x uang pesangon sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021;
  • 1 x uang penghargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021;
  • Uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Perppu Cipta Kerja dan Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021.

Sementara untuk karyawan kontrak atau karyawan yang terikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), wajib dibayarkan sisa kontraknya sesuai Pasal 62 UU 13/2003, dan juga uang kompensasi sesuai dengan PP 35/2021.

 

Penutupan Perusahaan karena Pandemi Covid-19

Pada bagian awal artikel ini, telah disebutkan alasan-alasan PHK yang dapat dilakukan perusahaan yang bermaksud untuk mengurangi beban operasionalnya untuk menjaga agar kegiatan usaha perusahaan tetap berjalan. Selain itu, juga dibahas mengenai konsekuensi kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan terhadap karyawan.

Untuk perusahaan yang tidak lagi mampu melanjutkan kegiatan usaha karena pandemi Covid-19 maupun akibat setelah pandemi tersebut terjadi, dan memutuskan untuk menutup perusahaan, tentu terdapat perbedaan dalam ketentuan pelaksanaan PHK, serta konsekuensi kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan terhadap karyawan. Namun, wajib dipastikan bahwa perusahaan benar-benar tutup untuk selamanya dan tidak hanya untuk sementara waktu, atau pun tidak berada dalam kondisi tidak aktif (inactive) atau dormant.

Ini karena sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah memberikan penafsiran dalam Putusan MK No.19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003. MK menyatakan bahwa Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”, pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.

Dari Putusan MK tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa PHK dengan alasan efisiensi itu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Jadi, alasan perusahaan dapat melakukan PHK karena alasan efisiensi harus dengan syarat perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.

 

Pembuatan Perjanjian Bersama Penyelesaian PHK dan Pendaftaran Perjanjian Bersama Penyelesaian PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial

Pada dasarnya, PHK adalah hal yang harus dihindari oleh perusahaan, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (1) Perppu Cipta Kerja. Dengan segala upaya, perusahaan harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal PHK tidak dapat dihindari, alasan atau maksud dari PHK wajib diberitahukan oleh perusahaan kepada karyawan.

Dalam rangka menyelesaikan proses PHK, perusahaan dan karyawan wajib melakukan melalui proses perundingan bipartit. Jika kedua belah pihak sepakat atas syarat dan ketentuan PHK dalam perundingan tersebut, maka sangat disarankan untuk syarat dan ketentuan dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis yang dinamakan Perjanjian Bersama, dan Perjanjian Bersama tersebut kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang memiliki kewenangan di tempat Perjanjian Bersama ditandatangani. Hal ini untuk melindungi syarat dan ketentuan, serta hak karyawan yang telah diberikan berdasarkan Perjanjian Bersama tersebut.

Lain hal jika dalam perundingan bipartit antara perusahaan dan karyawan tidak mendapatkan kesepakatan. Maka, perusahaan hanya dapat melanjutkan proses PHK sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan harus terlebih dahulu memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebelum PHK dapat difinalisasi.

 

PHK karena Covid-19 = PHK Tanpa Kesalahan = Sah menurut Hukum?

Lalu, apakah tetap bisa perusahaan menggunakan pandemi Covid-19 dan akibatnya sebagai dasar untuk melakukan PHK?

Pada awal artikel, telah dijelaskan alasan-alasan perusahaan yang tetap akan melanjutkan kegiatan usahanya untuk dapat melakukan PHK terhadap karyawan yang tidak melakukan kesalahan, mulai dari karena perusahaan mengalami kerugian, mengambil upaya untuk mencegah kerugian, maupun karena perusahaan mengalami keadaan tidak terduga atau force majeure. Namun, ini tidak menutup kemungkinan karyawan tidak menerima alasan-alasan tersebut. Sehingga, perusahaan tetap memiliki risiko untuk harus membayar uang PHK maksimal kepada karyawan atau lebih, karena karyawan tidak melakukan kesalahan terhadap perusahaan yang menimbulkan dirinya dapat dilakukan PHK terhadapnya.

Proses PHK dapat memakan waktu yang signifikan. Dalam hal kesepakatan tidak tercapai dengan cepat antara perusahaan dan karyawan, para pihak harus memulai mekanisme penyelesaian PHK, yang dapat berjalan mulai mediasi di kantor Dinas Ketenagakerjaan, dan berujung ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Namun, katakanlah pekerja menang hingga di PHI, bahkan tingkat Mahkamah Agung. Jika perusahaan tidak memiliki kemampuan finansial untuk dapat membayar pekerja tersebut, lalu untuk apa? Di sisi lain, perusahaan tentu juga habis tenaga dan uang untuk mengurus proses PHK tersebut. Sementara PHK ini dilakukan sebagai upaya perusahaan untuk terus melanjutkan kegiatan usahanya.

Lantas, di luar melaksanakan proses yang diatur dalam undang-undang dan peraturan pelaksananya, apa yang dapat dilakukan Perusahaan?

1. Jujur, Brutal, dan Transparan

Perusahaan harus bisa menjelaskan kondisi dan situasi perusahaan saat ini kepada karyawan, dan rencana perusahaan untuk masa depan, agar karyawan dapat mengetahui dan memahami alasan perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan PHK.

2. Mempertimbangkan Solusi Alternatif

Sebagaimana dijelaskan dalam UU 13/2003, PHK merupakan suatu hal yang wajib dihindari oleh perusahaan. Oleh karenanya, perusahaan disarankan untuk mempertimbangkan solusi alternatif yang sesuai dengan keadaan keuangan perusahaan, antara lain:

  • Untuk karyawan yang memiliki status kontrak, dalam hal waktu kontrak berakhir, dipertimbangkan dengan baik terkait dengan perpanjangan maupun pembaharuan kontrak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan, tidak diperpanjang atau diperbaharui secara otomatis.
  • Melakukan restrukturisasi dan menawarkan perubahan hubungan antara perusahaan dengan karyawan yang memiliki keahlian tertentu yang masih dibutuhkan perusahaan menjadi Mitra/Distributor/ Reseller/Freelance sehingga biaya yang dibayarkan menjadi variable cost. 
  • Dalam hal PHK tidak dapat dihindari, menyelesaikan proses dengan komitmen yang kuat dan berdasarkan pada niat baik. Mengatur penjadwalan pembayaran serta transparan kepada karyawan mengenai kemampuan finansial perusahaan, dan memberikan update kepada karyawan dari waktu ke waktu dalam hal terdapat perkembangan dalam proses penyelesaian.

Dalam melakukan proses penyelesaian PHK, sangat diperlukan adanya kebijaksanaan dari perusahaan, kelegowoan pekerja serta serikat pekerja, untuk menyikapi situasi secara jernih. Jika ingin menyelamatkan diri masing-masing dan adanya perasaan mau menang sendiri, maka proses penyelesaian akan terhambat dan membutuhkan waktu yang panjang untuk selesai.  

 

Jika Anda membutuhkan konsultasi mengenai permasalahan ketenagakerjaan, Anda dapat menghubungi BP Lawyers melalui ask@bplawyers.co.id atau 082112341235.