blog-bplawyers

Cost Recovery Sebagai Upah Investor Migas

Salah satu tabiat alami dari investasi pengusahaan hulu migas oleh pemerintah kita adalah  disparitas modal yang tidak seimbang dengan potensi sumber daya migas yang tersedia. Dana investasi yang dibutuhkan untuk melakukan serangkaian kegiatan usaha hulu migas tentu saja tidak sedikit, biaya-biaya operasional yang harus dikeluarkan mulai dari tahap eksplorasi hingga ekploitasi (produksi) lazimnya menelan biaya triliunan rupiah.

Bayangkan saja, untuk mendirikan satu infrastruktur fasilitas produksi (on shore) di daratan membutuhkan dana sedikitnya AS$5 miliar atau setara dengan Rp45 triliun. Belum lagi jika pembangunannya dilakukan diatas permukaaan laut (off shore) dengan kompleksitas medan yang khas, maka dana yang dibutuhkan pun otomatis membumbung berkali-kali lipat.

Kalaupun telah beberapa tahapan operasional eksplorasi dan produksi, para pelaku usaha sektor hulu migas juga masih akan dihantui oleh ketidakpastian hasil produksinya. Tidak jarang, suatu lapangan produksi yang telah menelan biaya puluhan bahkan ratusan triliun justru tidak menghasilkan apa-apa kecuali bebatuan geologis yang terendap dalam perut bumi. Sungguh sebuah kerugian yang tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

Risiko ketidakberhasilan operasional produksi migas inilah yang seringkali menjadi momok menakutkan bagi semua pelaku kegiatan usaha hulu migas, termasuk pemerintah di dalamnya.  Kami sendiri tidak yakin pemerintah kita akan berani “mengorbankan” biaya yang begitu besar untuk kegiatan opearasioal hulu migas dengan menggunakan uang Negara. Jika tidak berhasil, maka rakyatlah yang pada akhirnya akan terkena imbasnya.

Dengan kata lain, tingginya risiko menjadikan pemerintah enggan berjudi di sektor hulu migas. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi mengapa pemerintah kita gencar “mengundang” investor-investor asing (multinational oil company/MOC) dalam rangka membantu pemerintah untuk memaksimalkan potensi produksi migas yang tersedia, tentunya dengan berharap pada tebalnya kantong, canggihnya teknologi dan keterampilan sumber daya manusia yang dibawa.

Sayangnya semua ini ada harganya, seperti telah disinggung dalam tulisan mengenai konsep PSC sebelumnya, dimana dalam mekanisme tersebut biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor kontrak kerjasama (dalam hal ini oleh MOC) mulai dari tahap awal sampai dengan tahap produksi akan diganti oleh pemerintah jika suatu wilayah kerja (WK) migas yang diusahakan telah berpropduksi. Ya, itulah yang disebut cost recovery.

Sistem ini memang masih asing di telinga masyarakat Indonesia pada umumnya. Dari pengalaman kami meliput sebagai jurnalis, bahkan ada anggota dewan yang kurang memahami mekanismenya. Sungguh ironis memang, mengingat krusialnya sistem ini bagi penerimaan Negara sektor migas.

Lalu, apa itu sebenarnya cost recovery? Sejauh yang kami pahami, ini merupakan sistem yang muncul sebagai konsekuensi logis dari model kontrak PSC. Secara harfiah, cost recovery sendiri diartikan sebagai pengembalian atau penggantian biaya yang telah dikeluarkan MOC dalam melaksanakan kegiatan operasi usaha hulu migas di Indonesia. Jelasnya, biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC ini diganti atau ditanggung oleh pemerintah di akhir tahun produksi.

Dalam konteks ini, MOC menalangi (red membayar) dulu nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Pemerintah lah yang pada akhirnya akan membayar biaya operasional yang telah dikeluarkan MOC dari bagi hasil produksi migas yang telah  berdasar pada kontrak PSC. Yang menggembirakan, selain menyediakan dana, teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi usaha produksi migas tersebut, MOC juga akan menanggung semua risiko yang timbul darinya.

Secara normatif, cost recovery telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Pemberlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas dengan mengacu pada Undang-Undang Perpajakan (UU 41/2008). Biaya yang dapat dimasukkan sebagai cost recovery (mestinya) adalah biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor yang terkait langsung dengan operasi eksplorasi dan produksi migas di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 12 PP 79/2010.

Dalam  hal ini, ada dua komponen utama dari cost recovery migas kita, yaitu:

  1. Biaya operasi tahun berjalan. Biaya ini merupakan biaya non-capital (intangible) yang meliputi biaya operasi dan administrasi perusahaan untuk eksplorasi dan pengembangan lapangan migas. Termasuk di dalamnya adalah biaya tenaga kerja (domestik dan ekspatriat, konsultan), biaya administrasi perkantoran, biaya pelatihan dan kesehatan tenaga kerja.
  2. Biaya depresiasi dari capital/tangible assets tahun berjalan. Biaya barang-barang modal, peralatan dan fasilitas eksplorasi produksi yang digunakan tercakup disini. Dan ketiga, sisa cost recovery tahun-tahun sebelumnya (carry over/unrecovered costs).

Singkatnya, besaran dana pembebanan cost recovery akan sangat dipengaruhi oleh dinamika kegiatan operasional produksi migas yang dikerjakan oleh MOC. Biaya produksi dari MOC yang membengkak jelas akan mengurangi bagi hasil produksi migas, sehingga memangkas porsi yang akan dibagi oleh pemerintah dengan MOC.

Kadang yang menjadi sengketa ketika timbul biaya produksi yang terlalu tinggi. Dalam hal biaya produksi yang terlalu tinggi itu, diduga perusahaan sudah mengambil keuntungan terlebih dahulu yang “disembunyikan” dalam bentuk biaya. Praktik seperti ini menyimpan potensi untuk merugikan Negara/pemerintah walaupun porsi pembagian bagi hasil (PSC) kepada negara cukup besar. Namun, hal ini tentunya harus dibuktikan terlebih dahulu, tidak bisa sekedar claim sepihak saja.

Demikian sedikit penjabaran kami mengenai sistem cost recovery yang berlaku di Negara kita, semoga dapat memberikan manfaat.

Salam,

Rimba Supriatna, S.H.

Anda ingin berkonsultasi mengenai cost recovery, silahkan hubungi kami :

E: ask@bplawyers.co.id

H: +62821 1000 4741